Nama : Chandra Arisandy Nugroho
NPM : 11211610
Kelas : 4EA22
Tugas: ke - 4 Moralitas Koruptor
Moralitas
Koruptor
Moralitas berasal dari kata dasar “moral”
berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang berarti
kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain; akhlak budi
pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani;
bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan
kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan
kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara
sistimatika dalam etika.
Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi
istilah yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan
buruk dalam hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian
dan motif, maksud dan watak manusia. kemudian “etika” yang berarti
kesusilaan
yang memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang
baik dan yang buruk.
Moralitas yang secara leksikal dapat
dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk
perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya
yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu
azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran
yang memiliki sudut pandang yang berbeda:
Franz Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma,
nilai-nilai dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas
adalah sikap hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa
tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila
orang mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung
jawabnya dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan
baik yang betul-betul tanpa pamrih.
W. Poespoprodjo, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan
itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau
dengan kata lain moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan
manusia.
Immanuel Kant, mengatakan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk,
yang dalam bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap
pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa
pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan
baik begitu saja atau baik secara mutlak.
Emile Durkheim mengatakan, moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma
mengenai kaidah yang menentukan tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan
bagaimana kita harus bertindak pada situasi tertentu. Dan bertindak secara
tepat tidak lain adalah taat secara tepat terhadap kaidah yang telah
ditetapkan. Dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu
ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk
terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan
berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan
berdasarkan akal sehat yang objektif.
Korupsi
Korupsi merupakan sebuah kata yang tidak
asing lagi kebanyakan orang. Kata ini sudah menjadi buah bibir bagi
pemberitaan-pemberitaan saat ini. Indonesia salah satu Negara yang termasuk
tinggi dalam tingkat korupsinya. Korupsi banyak yang mengartikan bahwa sebuah sogokan
atau mengambil yang bukan merupakan haknya, mungkin banyak arti lain dari
koupsi. Tetapi, pada intinya korupsi itu merupakan sebuah hal yang dapat
merugikan bagi setiap Negara. Untuk mempelajari lebih lanjut, saya akan
memberikan sebuah pengertian-pengertian korupsi dari sumber-sumber
terpercaya.
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk,rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang
terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut: ·
- perbuatan
melawan hukum
- penyalahgunaan
kewenangan
- kesempatan,
atau sarana
- memperkaya
diri sendiri dan orang lain, atau korporasi
- merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun
bukan semuanya, adalah. memberi atau menerima hadiah atau janji
(penyuapan),
penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan
(bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/
penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri,
dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi
itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah
ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain Dampak
Negatif Korupsi Demokrasi Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan.
Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di
pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan
di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di
sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur,
penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena
prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan
dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Ekonomi Korupsi juga
mempersulit pembangunanekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos
(niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan
bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru
dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi
juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki
koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan
pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang
berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital
investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka
adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki
rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto
yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih
memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur,
ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai
1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun,
melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian
pembangunan
(atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh
ekonomisMancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah
ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering
menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan. Kesejahteraan Umum
Negara Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun
merugikan perusahaan- perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan
besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Mengapa korupsi
bisa terjadi ?
Berikut ini merupakan faktor-faktor
penyebab korupsi yang biasanya terjadi :
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan
huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap
pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena
takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
3.
Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi
hanya dilakukan sebatas formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara.
Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara,
mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan
terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang
mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan
hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah
daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum
sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau
tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli
orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada
benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada
masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi
dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan
peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional
antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya
bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya
maupun orang lain. (indopos.co.id, 27 Sept 2005).
Bagaimana
dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
Dampak korupsi terhadap bisnis dan
perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan
meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan
ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang
dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi
oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan
dan persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti
tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh
korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing –
masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan
karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan
menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini
dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan
dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di
Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan
harta dan mementingkan diri sendiri.
Siapa yang harus
bertanggung jawab ?
Pertanyaan di atas sangat sederhana,
bahkan, barangkali, naif. Namun,
jawabannya tidak akan pernah sederhana, dan juga tidak mungkin akan naif,
kecuali jika direkayasa sebagai pembenaran belaka (justification). Contoh
sederhana adalah apa yang terbentang luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga
pengawasan, korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor
yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali.
Ibarat membandingkan
semut dengan gajah. Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983,
BPKP telah memangku
tugas pokok: mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan
pengawasan pembangunan, menyelenggarakan pengawasan umum dalam penggunaan dan
pengurusan keuangan, menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas
pokok tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas) fungsi, yang salah satunya
adalah: “melaksanakan pengawasan khusus terhadap kasus-kasus tidak lancarnya
pelaksanaan pembangunan dan kasus- kasus yang diperkirakan mengandung unsur
penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya adalah dalam
rangka pengawasan dalam perbaikan manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan
khusus, BPKP memperoleh masukan sebagai dasar pendalaman dari pengaduan
masyarakat dan pengembangan dari hasil pemeriksaan. Tugas yang harus
dilaksanakan adalah mengungkapkan:
a) keterjadian penyimpangan;
b) adanya bukti kerugian keuangan Pemerintah;
c) adanya bukti orang atau badan yang melakukan
penyimpangan;
d) adanya bukti orang atau badan yang menikmati
hasil penyimpangan.
Jika diketemukan bukti-bukti tersebut, maka
kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung untuk
diproses sesuai hukum yang berlaku. Penyelesaian kasus tersebut sangat
tergantung dari proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan di
pengadilan.
Selama ini, banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan
seringkali cenderung melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah
dihasilkan oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan.
Siapa yang harus
bertanggungjawab memberantas korupsi?
Korupsi itu, apa?
Menurut kamus Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan,
penggelapan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999,
unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan
melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kehidupan sehari-
hari, praktik tindak pidana korupsi sendiri sebenarnya juga seringkali tidak
disadari oleh pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang menerima sejumlah pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi
dengan menandatangani kwitansi yang nilainya lebih besar dari jumlah yang
diterima. Pada kasus demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah,
dengan berfikir bahwa kwitansi tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya,
di mana yang penting uang diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa
perusahaan atau instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang
seharusnya. Kelebihan pembayaran adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan.
Kasus di atas memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang
menandatangani kwitansi telah melakukan penyimpangan dengan memberik keterangan
palsu atau tidak benar; Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat
merugikan keuangan negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani
kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak mengisi
tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka pembeli mobil
atau motor tidak harus membayar bea balik nama dengan segera. Padahal, sesuai
ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah perpindahan
kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan perpindahan kepemilikan tersebut dan
membayar bea balik nama. Tindakan tidak memberi tanggal pada
kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu masalah, karena yang penting
uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak diberi tanggal kwitansi
berarti
tidak akan segera balik nama, berarti tidak perlu segera membayar bea balik
nama.
Kasus di atas mengandung unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama;
dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal
berarti memberi keterangan palsu, Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah,
karena tidak segera membayar bea balik nama, Keempat; menguntungkan pihak
pembeli. Jika seseorang menandatangani kwitansi pembelian tanah dengan nilai
lebih rendah dari jumlah yang diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah
berarti baik pembeli maupun penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah
dari yang seharusnya. Tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi,
karena:
· Yang melakukan adalah yang
menandatangani kwitansi
· Menguntungkan pihak penjual dan pembeli
karena membayar pajak lebih kecil
· Merugikan keuangan negara karena pajak
yang diterima negara lebih kecil
· Melakukan
penyimpangan karena menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang
diterima
Contoh-contoh sederhana di atas hanyalah sebagian
kecil dari praktik korupsi sehari-hari yang secara tidak sadar dan sadar telah
dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal lain yang dapat dikelompokkan
memenuhi unsur tindak pidana korupsi adalah:
· menggunakan
mobil dinas (bukan mobil pejabat) untuk kepentingan pribadi
· tidak memerintahkan pindah dari rumah dinas
walaupun sudah tidak berdinas
· menyewakan aula kantor dan hasilnya untuk dana
kesejahteraan karyawan
· menggunakan ruang kantor untuk pendidikan suatu
yayasan tanpa sewa
· menggunakan sisa hasil pungutan ujian negara
untuk kepentingan yayasan
· menggunakan ruang kantor untuk toko koperasi
karyawan tanpa sewa
· tidak mencantumkan bukti potongan
pembayaran pada bukti pembayaran dan memanfaatkan penerimaan potongan untuk
dana kesejahteraan karyawan. Selama hal-hal di atas tidak bisa dienyahkan, maka
pemberantasan korupsi hanya akan menjadi sebuah utopia. Memang,
tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di atas terasa kental keberadaannya,
meskipun seringkali sulit menemukan pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti
surat sebagaimana diatur dalam KUHAP adalah kwitansi yang ditandatangani.
Namun, kalau masyarakat tidak mengakui bahwa kwitansi yang telah ditandatangani
adalah salah, maka bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan.
Oleh karena itu, pertanyaan sederhana yang harus diulang adalah siapakah yang
harus bertanggung jawab terhadap korupsi, apakah:
· Orang yang menandatangani
kwitansi?
· Orang yang membayarkan uangnya?
· Orang yang mengetahui tetapi tidak
melapor?
· Aparat pengawasan yang tidak mampu
mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam praktik pemeriksaan, seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi
kebanyakan berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan
harus berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki
telah memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti
adalah benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan
pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu
diungkapkan. Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di
atas adalah salah satu alasan mengapa pemeriksaan seringkali gagal mengungkap
tindak pidana korupsi.
Kegagalan
dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat, melainkan karena
adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan sadar
tidak
mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara tercinta ini.
Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan efektivitas
pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan seluruh
komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta sebuah
iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang besar-besar, yang
seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
http://lidya-novita.blogspot.com/2013/02/faktor-
faktor-penyebab-terjadinya.html
http://www.referensimakalah.com/2012/09/
pengertian-moral-dan-moralitas.html
http://rickaastry.wordpress.com/2012/11/05/4-
etika-bisnis-korupsi-faktor-penyebab-dan-dampak-korupsi-terhadap-bisnis/
http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/artikel/namafile/15/
korupsitanggungjawabsiapa.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
Axel Dreher, Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston
(2004), Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model